29 Agustus 2008

Panggilan Sang Kekasih

Dimanakah engkau wahai kekasihku?
Apakah engkau berada di surga kecil itu,
menyirami bunga-bunga yang menatapmu,
bagai bayi yang menatap ibunya

Ataukah engkau berada di kamarmu,
tempat kuil keutamaan ditempatkan bagi kehormatanmu,
dan tempat engkau menempatkan hati dan jiwaku
sebagai korban persembahan cintamu

Ataukah diantara buku-buku,
mencari pengetahuan manusia,
sementara engkau dipenuhi kebijaksanaan surgawi.

Dimanakah engkau, wahai belahan jiwaku?
Apakah engkau sedang berdoa di kuil?

Ataukah engkah sedang mengunjungi alam di ladang,
tempat mimpi-mimpimu bersemayam?

Apakah engkau tengah berada di gubuk-gubuk orang miskin,
menghibur orang-orang yang patah hati dengan belas kasih jiwamu,
dan memenuhi tangan mereka dengan berkat?

Engkaulah roh cinta yang berada dimana-mana,
engkau lebih perkasa daripada abad dan masa.

Masihkah engkau ingat saat kita bertemu,
saat lingkaran cahaya jiwamu melingkupi kita,
dan para malaikat cinta melayang-layang,
sambil mengumandangkan lagu-lagu kasih sayang.

Masih ingatkah engkau saat kita duduk dibawah bayangan dahan-dahan,
yang melindungi diri kita dari serangan terik matahari,
sebagaimana tulang rusuk melindungi rahasia hati dari luka.

Masih ingatkah engkau jalan setapak dan hutan-hutan
yang kita lewat sambil bergandengan tangan dan saling menyandarkan kepala,
bagaikan dua jiwa dalam tubuh yang sudah menyatu?

Ingatkah engkau saat kuucapkan kata-kata selamat tinggal,
lalu kau berikan kecupan mesra dibibirku?

Ciuman itu, telah menyadarkan aku
bahwa dua bibir yang bertemu dalam cinta
mampu mengungkapkan rahasia-rahasia surgawi
yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Ciuman itu,
merupakan awal dari desah panjang yang amat dalam,
bagaikan nafas kehidupan saat mengubah tanah menjadi manusia.

Desah itu membuka jalanku menuju alam batin,
menyatakan kehormatan diriku,
tempat ia akan bertahan sampai kita berjumpa lagi.

Aku teringat saat kau menciumku...dan menciumku,
dengan air mata yang membasahi kedua pipimu,
dan engkau menyatakan,

“Tubuh duniawi harus sering berpisah untuk urusan duniawi,
dan terpaksa hidup terpisah karena tujuan duniawi.
Tetapi jiwa tetap bersatu dengan aman dalam cinta, sampai kematian menjemput
dan membawa kedua jiwa yang bersatu itu kembali ke Tuhannya”.

“Pergilah kekasihku,
karena cinta telah memilih engkau menjadi utusannya,
taatilah dia,
karena dia lah keelokan yang menawarkan kepada para pengikutnya
piala penuh kemanisan hidup.

Sedangkan bagi hatiku yang hampa,
cintamu akan tetap menjadi mempelai wanita yang menghibur,
dan kenangan tentang engkau akan menjadi pernikahan abadiku”.

Dimanakah engkau sekarang, diriku yang lain?
Apakah engkau terjaga dalam kesunyian malam?
Biarlah angin sepoi-sepoi segar menyampaikan kepadamu,
setiap detak jantung cintaku...

Apakah engkau masih membelai wajahku dalam bayanganmu?
Sesungguhnya, bayangan itu bukan lagi bayangan diriku,
karena derita panjang telah menimpa bayanganku,
pada wajah bahagiaku dimasa lalu.

Ratap dan tangis telah mengeringkan mataku,
yang memantukan kecantikanmu,
dan merusak bibirku yang telah dipermanis oleh...
ciumanmu.

Dimanakah engkau kekasihku...?
Apakah engkau mendengar tangisku dari seberang lautan?
Apakah engkau mengerti apa yang aku butuhkan?
Apakah engkau tahu besar dan dalamnya kesabaranku?

Adakah mahluk diangkasa yang bisa menyampaikan kepadamu,
sengal nafas orang muda yang sekarat ini?
Adakah yang bisa dilakukan oleh para pujangga,
untuk dapat menyampaikan padamu keluh kesahku?

Dimanakah engkau, bintangku yang elok?
Ketidakpastian hidup telah mencampakkan aku kedalam dasarnya,
derita yang telah menaklukkan aku.

Layangkanlah senyummu,
maka ia akan sampai padaku,
membangkitkan semangatku.

Sebarkan wangi tubuhmu,
maka ia akan menyangga hidupku.
Oh..., betapa besarnya cinta,
Dan betapa kecilnya diriku....

Tidak ada komentar: