29 Agustus 2008

Jiwa Yang Menderita

Tidak ada pengembala manusia di padang yang indah ini,
juga tidak ada domba untuk digembalakan ataupun hati untuk dilukai.

Musim dingin pergi dengan pakaiannya
dan musim semi harus datang dengan kebanggaan.

Orang-orang dilahirkan sebagai budak,
dan oleh tirani..,jiwa mereka di robek-robek.

Kemanapun pemimpinnya pergi,
kesitu pulalah pengikutnya,
dan terkutuklah dia yg menolaknya.

Berikan aku seruling dan biarkan aku bernyanyi,
dan melalui jiwaku biarlah musik mengalun.

Nyanyian seruling lebih agung daripada kejayaan raja-raja dari segala jaman.

Panggung Kehidupan

Satu jam yang dihabiskan untuk mencari keindahan dan cinta,
sama nilainya dengan satu abad kejayaan,
yang diberikan oleh mereka yang lemah, dan ketakutan kepada yang kuat.

Selama satu jam itulah manusia mendapatkan kebenaran,
dan selama satu abad itulah,
kebenaran terlelap didalam pelukan mimpi buruk yang menggelisahkan.

Selama satu jam itu, jiwa menyaksikan sendiri hukum alam,
dan selama satu abad itu, jiwa memenjarakan dirinya dibelakang tirai hukum manusia,
dan diikat dengan rantai besi penindasan.

Selama satu jam itu, muncul lah gagasan atas nyanyian keindahan,
dan selama satu abad itu muncul lah kekuatan buta,
yang menghancurkan berhala kemunafikan.

Selama satu jam itu lahirlah khotbah kebersamaan,
dan selama satu abad itu hancurlah istana perceraian.

Selama satu jam itu turunlah wahyu kebebasan,
dan selama satu abad itu dilupakanlah kekuasaan,
kebesaran dan kemerdekaan.

Satu jam yang dihabiskan untuk meratapi dan menyesali keadilan yang dirampas
dari yang lemah, lebih berarti dari pada satu abad yang penuh dengan ketamakan,
serta perebutan kekuasaan.

Selama satu jam seperti itulah, hati dimurnikan oleh nyala api penderitaan,
dan diterangi oleh cahaya api cinta.
Dan selama satu abad seperti itulah, hasrat akan kebenaran,
dikubur dalam-dalam didasar bumi khayalan.

Inilah kehidupan,
yang dipotret dari panggung zaman demi zaman,
yang direkam langsung dari abad ke abad,
yang dihidupi dalam pengasingan tahun demi tahun,
yang dinyanyikan sebagai himne dari hari ke hari,
yang diagungkan tetapi hanya dalam satu jam,

tetapi bagi keabadian satu jam itu adalah sebuah permata..

Indahnya Kematian

Biarkan daku terlelap,
karena jiwaku sedang dimabuk cinta,
dan biarkan daku beristirahat,
karena rohku telah kenyang dengan karunia cinta sepanjang hari
Nyalakan lilin dan bakarlah dupa didekat pembaringanku,
taburi tubuhku dengan bunga melati dan mawar,
olesi rambutku dengan setanggi,
percikkan kakiku dengan wewangian,
dan bacalah suratan penguasa maut dikeningku.
Biarkan aku terlelap didekapan kegelapan,
karena mataku telah letih terjaga.
Biarkan harpa berdawai perak,
menggetarkan dan menenangkan sukmaku,
rajutlah tirai untuk hatiku yang gundah,
dari denting-denting harpa dan kecapi.
Senandungkan nyanyian masa lalu,
saat kau saksikan fajar harapan merekah dimataku,
karena makna ajaibnya adalah tilam empuk,
tempat hatiku bersemayam.
Hapuslah air matamu, kekasihku,
tegakkan kepala bagaikan bunga-bunga,
mengangkat mahkotanya untuk menyambut fajar.
Tataplah mempelai kematian yang bagaikan tiang cahaya,
berdiri diantara pembaringanku.
Tahan nafas sejenak,
dan mari dengar bersama desiran kepak sayap putihnya.
Mendekatlah dan ucapkan salam perpisahan,
tatap mataku dengan senyuman tersungging dibibir.
Biarkan anak-anak menggenggam tanganku,
dengan jemari mereka yang lembut dan merah merona.
Biarkan orang-orang tua mengelus kepalaku dan memberkatiku.
Biarkan anak-anak gadis mendekat,
dan menyaksikan bayangan kerinduan di mataku,
dan mendengarkan gema kehendak sang maut berpacu dengan desah nafasku.

Puncak gunung telah kulalui dan jiwaku telah membumbung tinggi,
ke cakrawala kebebasan yang luas dan tiada bertepi.
Wahai kekasih, aku sudah jauh sekali,
dan mendungpun menyembunyikan perbukitan dari penglihatanku.
Lembah-lembah tergenangi lautan kesunyian,
dan ketidaksadaran diri menelan jalan-jalan kebahagiaan.
Ladang dan padang-padang rumput lenyap dibalik bayangan putih,
tampak sebagai awan musim semi,
kekuning-kuningan seperti cahaya lilin,
merah merona seperti senjakala temaram....
Nyanyian gelombang dan himne sungai-sungai membahana,
dan suara gerombolan orang berubah menjadi kesunyian.
Tiada lagi yang kudengar kecuali musik keabadian,
sangat selaras dengan hasrat jiwa.
Aku berbusana putih seperti salju,
kurasakan kelegaan, kurasakan kedamaian...
Lepaskan kafan linen putih dari jasadku,
dan kenakanlah bunga-bunga melati dan bakung sebagai busanaku.
Angkatlah tubuhku dari peti khayalan,
dan biarlah bersemayam diatas bantal bunga keceriaan.
Jangan meratapi diriku,
tapi nyanyikanlah lagu-lagu bocah remaja nan ceria.
Jangan tangisi diriku,
tapi nyanyikanlah lagu musim panen keindahan.
Jangan berduka cita atas diriku,
tapi pandanglah wajahku dengan kebahagiaan.
Mainkan nada-nada cinta dan kegembiraan dengan jari-jari lentikmu.
Jangan usik ketenangan suasana dengan nyanyian dan doa kematian.
Biarkan hati kalian menyanyikan kidung kehidupan abadi bersamaku.
Jangan kenakan pakaian berkabung berwarna hitam,
pakailah busana berwarna-warni dan bergembiralah bersamaku.
Jangan lepas kepergianku dengan keluh kesah hati,
pejamkan matamu, maka akan engkau saksikan kebersamaan kita,
untuk selama-lamanya.
Baringkan tubuhku diatas tumpukan dedaunan,
dan usunglah daku dibahumu yang meringankan dosaku,
dan berjalanlah perlahan menuju hutan kesunyian.
Jangan semayamkan tubuh hinaku di perkuburan yang berjejal,
agar tidur abdiku tidak terganggu oleh gemeretak tulang dan tengkorak.
Bawalah aku ke hutan keabadian dan gali lah kuburku ditaman bunga,
yang sedang bersemi dan saling membayangi keindahan.
Galilah kuburku cukup dalam, agar banjir tidak menyeret tulangku,
ke hamparan lembah tak bertuan.
Buatkan kuburku cukup lapang, agar senja temaram datang menghampiri,
dan bersanding bersamaku.
Tinggalkan segala pakaian duniawi ku,
semayamkan daku dalam-dalam ke rahim ibu pertiwi,
dan baringkan aku dengan penuh mesra,
dalam dekapan bunda.
Selimuti aku dengan bumi yang lembut,
dan biarkan tiap jemput tanah berbaur dengan biji bunga,
dan tatkala bunga-bunga itu bersemi diatas pusaraku,
dan tumbuh subur bersama sisa jasadku,
tanaman bunga itu senantiasa menghembuskan semerbak,
harum jiwaku ke udara.
menyampaikan kepada sang mentari rahasia damai dihati,
melayang bersama angin sepoi-sepoi dan menyegarkan sang musafir.
Lalu, tinggalkan aku kekasihku...,
tinggalkan aku dan berjalanlah pulang dengan tenang,
seperti kesunyian merayap dilembah sepi.
Pasrahkan daku kepada Tuhan dan pulanglah dengan tenang,
seperti bunga-bunga yang terserak oleh hembusan angin kesepian,
di bulan purnama yang terangi pembaringanku.
Kembalikan keceriaan ditempat tinggal hatimu,
maka akan kau temui aku disana,
apa yang dapat direnggut maut darimu dan dariku.
Tinggalkan tempat ini,
karena apa yang telah kau saksikan disini,
mengandung makna yang sangat berbeda dengan dunia fana.
Tinggalkan diriku....

Panggilan Sang Kekasih

Dimanakah engkau wahai kekasihku?
Apakah engkau berada di surga kecil itu,
menyirami bunga-bunga yang menatapmu,
bagai bayi yang menatap ibunya

Ataukah engkau berada di kamarmu,
tempat kuil keutamaan ditempatkan bagi kehormatanmu,
dan tempat engkau menempatkan hati dan jiwaku
sebagai korban persembahan cintamu

Ataukah diantara buku-buku,
mencari pengetahuan manusia,
sementara engkau dipenuhi kebijaksanaan surgawi.

Dimanakah engkau, wahai belahan jiwaku?
Apakah engkau sedang berdoa di kuil?

Ataukah engkah sedang mengunjungi alam di ladang,
tempat mimpi-mimpimu bersemayam?

Apakah engkau tengah berada di gubuk-gubuk orang miskin,
menghibur orang-orang yang patah hati dengan belas kasih jiwamu,
dan memenuhi tangan mereka dengan berkat?

Engkaulah roh cinta yang berada dimana-mana,
engkau lebih perkasa daripada abad dan masa.

Masihkah engkau ingat saat kita bertemu,
saat lingkaran cahaya jiwamu melingkupi kita,
dan para malaikat cinta melayang-layang,
sambil mengumandangkan lagu-lagu kasih sayang.

Masih ingatkah engkau saat kita duduk dibawah bayangan dahan-dahan,
yang melindungi diri kita dari serangan terik matahari,
sebagaimana tulang rusuk melindungi rahasia hati dari luka.

Masih ingatkah engkau jalan setapak dan hutan-hutan
yang kita lewat sambil bergandengan tangan dan saling menyandarkan kepala,
bagaikan dua jiwa dalam tubuh yang sudah menyatu?

Ingatkah engkau saat kuucapkan kata-kata selamat tinggal,
lalu kau berikan kecupan mesra dibibirku?

Ciuman itu, telah menyadarkan aku
bahwa dua bibir yang bertemu dalam cinta
mampu mengungkapkan rahasia-rahasia surgawi
yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Ciuman itu,
merupakan awal dari desah panjang yang amat dalam,
bagaikan nafas kehidupan saat mengubah tanah menjadi manusia.

Desah itu membuka jalanku menuju alam batin,
menyatakan kehormatan diriku,
tempat ia akan bertahan sampai kita berjumpa lagi.

Aku teringat saat kau menciumku...dan menciumku,
dengan air mata yang membasahi kedua pipimu,
dan engkau menyatakan,

“Tubuh duniawi harus sering berpisah untuk urusan duniawi,
dan terpaksa hidup terpisah karena tujuan duniawi.
Tetapi jiwa tetap bersatu dengan aman dalam cinta, sampai kematian menjemput
dan membawa kedua jiwa yang bersatu itu kembali ke Tuhannya”.

“Pergilah kekasihku,
karena cinta telah memilih engkau menjadi utusannya,
taatilah dia,
karena dia lah keelokan yang menawarkan kepada para pengikutnya
piala penuh kemanisan hidup.

Sedangkan bagi hatiku yang hampa,
cintamu akan tetap menjadi mempelai wanita yang menghibur,
dan kenangan tentang engkau akan menjadi pernikahan abadiku”.

Dimanakah engkau sekarang, diriku yang lain?
Apakah engkau terjaga dalam kesunyian malam?
Biarlah angin sepoi-sepoi segar menyampaikan kepadamu,
setiap detak jantung cintaku...

Apakah engkau masih membelai wajahku dalam bayanganmu?
Sesungguhnya, bayangan itu bukan lagi bayangan diriku,
karena derita panjang telah menimpa bayanganku,
pada wajah bahagiaku dimasa lalu.

Ratap dan tangis telah mengeringkan mataku,
yang memantukan kecantikanmu,
dan merusak bibirku yang telah dipermanis oleh...
ciumanmu.

Dimanakah engkau kekasihku...?
Apakah engkau mendengar tangisku dari seberang lautan?
Apakah engkau mengerti apa yang aku butuhkan?
Apakah engkau tahu besar dan dalamnya kesabaranku?

Adakah mahluk diangkasa yang bisa menyampaikan kepadamu,
sengal nafas orang muda yang sekarat ini?
Adakah yang bisa dilakukan oleh para pujangga,
untuk dapat menyampaikan padamu keluh kesahku?

Dimanakah engkau, bintangku yang elok?
Ketidakpastian hidup telah mencampakkan aku kedalam dasarnya,
derita yang telah menaklukkan aku.

Layangkanlah senyummu,
maka ia akan sampai padaku,
membangkitkan semangatku.

Sebarkan wangi tubuhmu,
maka ia akan menyangga hidupku.
Oh..., betapa besarnya cinta,
Dan betapa kecilnya diriku....

Bidadari Yang Menawan

Kemana engkau akan membawaku.
wahai bidadari yang menawan,
dan sampai kapankah aku harus mengikutimu,
diatas jalan yang bersemak yang ditanami duri-duri ini?

Sampai kapankah jiwa kita naik dan turun dengan tersiksa,
di atas jalan setapak bercadas dan berliku-liku ini?

Seperti seorang anak kecil mengikuti ibunya,
aku mengikutimu,
memegang ujung pakaianmu,
melupakan mimpi-mimpiku,
dan mengagumi kecantikanmu,
membiarkan mataku terpana oleh arak-arakan bayangan,
yang melayang-layang diatasku,
dan tertarik kepadamu,
oleh kekuatan batinku yang tak bisa kusangkal.

Berhenti sejenak,
dan biarkan aku memandang wajahmu,
tataplah aku sejenak,
mungkin aku akan mengetahui rahasia hatimu,
melalui matamu yang indah.

Berhenti dan beristirahatlah karena aku lelah,
dan jiwaku menggigil ketakutan,
karena jalan setapak yang mengerikan ini.

Berhentilah,
karena kita telah mencapai persimpangan jalan yang mengerikan,
tempat kematian memeluk kehidupan.

Wahai bidadari, dengarkan aku!
Aku bebas seperti burung-burung,
menjelajahi lembah dan hutan-hutan,
dan terbang dilangit yang luas.

Dimalam hari,
aku beristirahat diatas dahan-dahan pepohonan,
awan warna-warni yang dibuat oleh matahari di pagi hari,
dan lenyap sebelum senja tiba.

Aku seperti sebuah fikiran,
yang berjalan sendirian dengan damai,
ke timur dan barat alam semesta,
merayakan keindahan dan kegembiraan hidup,
dan menyelidiki misteri keberadaan yang luar biasa.

Aku seperti sebuah mimpi,
menerobos di bawah sayap-sayap malam yang ramah,
masuk melalui jendela-jendela tertutup,
ke dalam kamar-kamar para gadis,
bersenang-senang dan membangkitkan keinginan mereka...

Kemudian kau menangkap khalayalanku,
dan saat itu juga aku merasa seperti tawanan,
yang menyeret rantai-rantai belenggu,
dan didorong kesuatu tempat yang tidak diketahui..

Aku menjadi mabuk oleh anggur manismu,
yang telah mencuri keinginanku,
dan ternyata kini bibirku sedang mencium tangan,
yang menamparku dengan keras.

Tak sanggupkah kamu memandang dengan mata jiwamu,
Betapa remuk hatiku.

Berhenti sejenak,
sebab aku sedang mengumpulkan tenaga,
dan membebaskan kakiku yang lelah,
dari rantai-rantai yang berat.

Aku sudah meremukkan piala,
tempat aku meminum bisa mu yang lezat...

Tetapi sekarang aku berada di sebuah daerah asing,
dan sedang kebingungan memilih,
jalan kemana yang akan kutempuh...??

Kebebasanku sudah kembali,
apakah sekarang kamu akan menerima aku,
sebagai seorang teman yang penurut,
yang memandang matahari dengan mata telanjang,
dan memegang api dengan jari-jari yang tak bergetar?

Aku telah melepaskan sayap-sayapku dan siap turun,
apakah kamu akan menemaniku untuk menghabiskan sisa hariku,
dengan mengembara digunung-gunung seperti elang kesepian,
dan melewati malam-malam ku dengan keluyuran,
dipadang pasir seperti singa yang gelisah???

Apakah kamu puas akan dengan kasih dari seseorang,
yang memandang cinta tak lain sebagai penghibur,
dan menolak untuk menerima kekasihnya sebagai ratu?

Apakah kamu akan menerima hati yang mencintai,
tetapi tak pernah berbuah?
Dan membakar, tetapi tak pernah mencair?

Apakah kamu merasa senang dengan jiwa yang menggigil,
sebelum angin ribut tiba,
tetapi tak pernah menyerah kepadanya?

Apakah kamu akan menerima sebagai teman,
seseorang yang tak memperbudak,
tapi juga tak pernah menjadi budak?

Apakah kamu mendapatkan aku,
tetapi tak memiliki aku,
dengan menguasai badanku tetapi bukan hatiku?

Inilah tanganku, genggamlah dengan tanganmu yang lembut..
Inilah tubuhku, rengkuhlah dengan pelukan cintamu..
Inilah bibirku, kecuplah dengan ciuman mesra yang memabukkan...
Inilah jiwaku, sentuhlah dengan manisnya kasih sayangmu..

Terabaikan....

Bila kesunyian malam dapat mengungkapkan,
segala kehampaan yang tersembunyi dalam hatimu,
mungkin aku akan selalu mengunjungi sang bulan,
dan ku buai ia sehingga lupa akan janjinya kepada sang surya.

Mungkin hanya gemuruh desiran ombak yang mampu,
mengisi relung jiwamu yang sedang merindukan,
dekapan kasih dari pujangga hati.

Mungkin aku hanya berkhayal akan suatu fatamorgana,
tentang dirimu yang begitu jelas tapi tak nyata.
Asa ku hanya menginginkan bulan selalu memberikan,
cahaya kesuciannya kepadamu,
agar selalu bisa melupakan perasaanmu,
tentang keindahan yang tak seindah kenyataan.

Mungkin ini hanya rintihan sang hujan,
agar mendapatkan perhatian dari alam jiwamu.
Mungkin ini adalah suatu kebahagiaan,
yang terlewatkan oleh sang waktu.
Mungkin inilah jalan yang terakhir,
untuk menapaki keindahan kebahagiaan yg terlupakan.

Angin akan membawa wangi jiwamu kembali ke alam sadar.
Hujan akan membasahi keringnya perasaan kasih dalam hatimu.
Sepi akan memberikan kekuatan cinta pada asa mu.
Tersisih dalam suatu keindahan,
yang membuat hatimu muak akan kasih sayang.

Bisikan mesra sang angin malam,
yang membisikkan kepiluan hatiku padamu,
hanya akan membuatmu merasa bahagia,
diatas kekeringan perasaanku di gersangnya jurang hatimu.

Tak kumengerti dan tak ingin kumengerti,
bisakah hatimu mencintai?
bisakah hasratmu menyanjungi?
bisakah nuranimu jujur...?
setidaknya kepada dirimu sendiri,
yang telah lama kau bohongi....

Setidaknya aku mencintai sesuatu dari dirimu..,
yang tak pernah kau cintai...

Telah tertambat...dipinggiran hatimu...

Its Just My Mind...

Tak kan kutukar dukacita hatiku demi kebahagiaan khalayak
Dan, tak kan kutumpahkan air mata dan kesedihan
yang mengalir dari tiap bagian diriku
berubah menjadi gelak tawa

Kuingin diriku tetaplah setetes air mata dan seulas senyuman
Setetes air mata menyatukanku dengan mereka yang patah hati
Seulas senyuman menjadi sebuah tanda kebahagiaanku dalam keberadaan

Aku merasa lebih baik jika aku mati dalam hasrat dan kerinduan
Ketimbang jika aku hidup menjemukan dan putus asa

Aku bersedia kelaparan demi cinta dan keindahan yang ada dikedalaman jiwaku
Lantaran telah kusaksikan mereka yang telah dipuaskan amat menyusahkan orang
Telah kudengar keluhan mereka dalam hasrat kerinduan
Dan itu lebih manis daripada melodi yang termanis

Ketika malam tiba, bunga menguncupkan kelopak dan tidur, memeluk kerinduannya
Tatkala pagi mengampiri, ia membuka bibirnya demi menyambut ciuman menari

Kehidupan sekuntum bunga sama dengan kerinduan dan pengabulan
Setetes air mata dan Seulas senyuman

Air laut menguap dan menjelma menjadi segumpal mega
Awan mengapung diatas perbukitan dan lembah ngarai hinga berjumpa angin sepoi-basa
Jatuh bercucuran kepadang-padang bergabung bersama aliran sungai dan kembali
Ke laut, kerumahnya

Kehidupan awan gemawan itu adalah suatu perpisahan dan perjumpaan
Bagai setetes air mata dan seulas senyuman

Dan kemudian jiwa jadi terpisahkan dari jiwa yang lebih besar
Bergerak didunia zat, melintasi bagai segumpal mega diatas pegunungan duka cita
Dan dataran kebahagiaan demi berjumpa lagi kematian kembali keasalnya
Menuju samudera cinta dan keindahan – ke Tuhan

Aku adalah orang asing

Aku ini seorang asing didunia, yang mengalami kesunyian yang mencekam
serta kesendirian yang menyakitkan dalam pengasinganku.
Aku sendirian, tetapi dalam kesendirian kurenungkan
sebuah negeri yang tak kukenal yang mengagumkan,
dan renungan ini mengisi mimpi-mimpiku
dengan penglihatan akan negeri besar dan sangat jauh
yang belum pernah terlihat oleh kedua mataku.

Aku adalah seorang asing diantara orang-orang,
dan aku tidak memiliki seorang temanpun,
ketika aku melihat seseorang, aku bertanya-tanya didalam hatiku,
"Siapakah dia gerangan, bagaimanakah aku bisa mengenalnya,
mengapa dia berada disini, dan hukum apa yang telah mempertemukan diriku dengannya".

Aku adalah orang asing bagi diriku sendiri,
dan ketika kudengar bibirku bicara, telingaku bertanya-tanya mengenai suaraku,
aku melihat bagian diriku yang terdalam tersenyum, menangis, berani dan ketakutan,
kesadaranku bertanya-tanya mengenai hakikatku sementara jiwaku menanyai hatiku,
tetapi aku tetap tidak dikenal, ditelan oleh kesunyian yang mencekam.

Pikiranku asing bagi tubuhku, dan aku berdiri didepan cermin,
kulihat sesuatu di wajahku yang tidak dilihat oleh jiwaku,
dan kutemukan dengan mataku apa yang tidak ditemukan oleh jati diriku.

Ketika aku berjalan dengan pandangan mata kosong menelusuri jalan-jalan kota yang ramai,
anak-anak mengikutiku sambil berteriak-teriak,
"Dia ini orang buta, ayo kita beri dia tongkat agar menemukan jalannya".

Ketika berlari menghindari mereka, aku bertemu dengan sekelompok wanita,
dan mereka memegangi ujung-ujung pakaianku sambil berseru,
"Dia ini tuli seperti batu, mari kita isi telinganya dengan musik cinta".

Aku adalah seorang asing didunia ini...,
aku adalah seorang penyair yang menulis segala sesuatu yang diolah kehidupan,
dan yang mengolah segala sesuatu yang ditulis kehidupan.

Karena itulah aku menjadi orang asing
dan aku akan tetap menjadi orang asing
sampai sayap-sayap kematian yang putih dan ramah
membawaku pulang kembali ke negeriku yang indah.

Disanalah, tempat terang, damai, serta pengetahuan bersifat abadi,
akan kutunggu orang-orang asing lain
yang akan diselamatkan oleh perangkap waktu dari dunia sempit dan gelap ini.

28 Agustus 2008

Kedewasaan

Telah terlahir dengan di bekali takdir pahit,
sebuah jiwa menetas dari rahim telur penderitaan,
tetesan darah tumpah dari wadah tak kasat mata.....
Terjun ke padang fana penuh harapan,
orang tuanya mencoba berduel dengan takdir,
berusaha membuahi cinta, jalani kejamnya hukuman algojo kehidupan,
layaknya narapidana lainnya .
Waktu berlalu , belum juga ku temukan kekuatan menangkal sang takdir.
Namun, seorang bocah telah didewasakan kesedihan dan penderitaan.
Dia sadari, tak ada guna menentang sang takdir,
karena semakin kuat dilawan semakin kejam takdir menyelimuti.
Bermodal harga diri dan senyum suci, seorang bocah melangkah masuk ke gerbang
kota kematian, didalamnya terdapat jual beli jiwa manusia.
Alat pemuas nafsu di tawarkan pedagang bertopeng setan.
Mungkin satu , dua kali, sang bocah salah jalan dalam mengambil keputusan,
Tapi itu semua pengalaman, dan pengalaman merupakan guru yang abadi.
Maka dengan kerendahan diri ku mohon pada kerabat sang bocah,
yang ditunjukkan oleh mata kasihan yg memandangnya,
Agar dibiarkan kehidupan yang mengajarinya,
Hal itu lebih baik daripada mengajarkan kehidupan kepada sang bocah.